Ramai dan Sakral, Ritual Melasti Umat Hindu Nganjuk Jelang Nyepi

nganjuk
Warga dan pengunjung saling berebut aneka sesaji yang dilarung, oleh peserta Upacara Melasti, di kawasan Roro Kuning, Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Nganjuk, Ahad 11 Maret 2018 (matakamera/foto : ist)
Ahad 11 Maret 2018
by Panji Lanang Satriadin

matakamera, Nganjuk – Setiap menjelang Hari Raya Nyepi, kawasan Air Terjun Roro Kuning, Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Nganjuk, selalu lebih ramai dari hari-hari biasa.

Tak heran, karena sumber mata air di lereng Gunung Wilis itu bukan sekadar menjadi lokasi berpelesir. Bagi umat Hindu, lokasi ini sangat sakral dan dianggap suci. 

Karena itu, menjelang Nyepi yang jatuh pada Sabtu 17 Maret 2018, ratusan umat Hindu Nganjuk melakukan upacara ritual Melasti di lokasi ini, pada Ahad 11 Maret 2018.

Upacara Melasti, yang merupakan salah satu rangkaian acara peringatan menuju Catur Brata Nyepi, dilakukan oleh Umat Hindu Nganjuk dengan menggelar arak-arakan sejauh sekitar 5 kilometer.

Mereka berangkat dari Pura Kerta Buwana Giri Wilis, di Dusun Semanding, Desa Bajulan, menuju pusat mata air Roro Kuning.

Sampai di lokasi, ratusan Umat Hindu melakukan doa bersama, hingga melarung aneka sesaji hasil bumi dan ternak, di sumber mata air Gunung Wilis tersebut.

Saat prosesi larung, kerumunan orang dari anak-anak hingga dewasa secara spontan nyebur ke dalam kolam, saling berebut sesaji.

“Ini merupakan penyucian diri dan lingkungan, sebelum kami melakukan ibadah utama Catur Brata Nyepi,” urai Mangku Damri, pemuka warga Hindu di desa setempat.

Selama berabad-abad, kawasan hutan di sisi selatan Kabupaten Nganjuk itu menjadi 'benteng terakhir' warisan Hindu era Majapahit. Di sudut kampung maupun di sekitar gerbang utama pura agung, aroma dupa sembahyang terasa menyengat.

Masyarakat Dusun Semanding sebagian besar memang beragama Hindu. Kurang lebih 90 persen masyarakatnya memeluk agama yang sudah ada sejak zaman Mataram kuno hingga Majapahit itu.

“Memang di sini adalah kampung Hindu. Ada lebih dari 100 KK (kepala keluarga, red) atau ratusan masyarakat yang beragama Hindu, “ tutur Mangku Damri.

Keberadaannya disebut-sebut sudah ada sejak abad ke-15. Damri dan warga Hindu setempat meyakini, bahwa mereka adalah anak keturunan masyarakat Hindu Majapahit.

Damri menceritakan, di kawasan puncak Gunung Wilis sampai saat ini masih banyak tersimpan candi dan prasasti yang menjadi bukti sejarah tersebut. Bahkan, setiap tahunnya masih dikunjungi umat Hindu dari berbagai daerah, termasuk Bali untuk berziarah dan berdoa.

Apalagi, umat Hindu Jawa sejak dahulu sudah menganggap Gunung Wilis sebagai penjelmaan Gunung Suci Mahameru.

Setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, perlahan-lahan umat Hindu menyebar dan berpindah agama. Kendati demikian, adat tradisi Hindu di Semanding tetap terpelihara sampai hari ini.

Ringkasnya, perkampungan Hindu di Gunung Wilis ini sudah bertahan selama 7 abad. Secara turun-temurun mereka tetap tinggal dan melestarikan budaya maupun agama Hindu. “Ketika hari besar agama Hindu, kami secara bersama-sama merayakannya” ucap Damri.

(ab/2018)



Share on Google Plus

About matakamera.net

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment

Comments System