Viral Cerita Horor KKN Desa Penari, Di Nganjuk Ternyata Wujudnya Benar-Benar Ada

Sumber foto : dok. GenPi Nganjuk 

Jumat 30 Agustus 2019
by Panji LS

matakamera, Nganjuk - Jagad maya belum lama ini dihebohkan dengan sebuah cerita horor, berjudul "KKN Desa Penari". Kisah ini awalnya dibagikan oleh akun Twitter @SimpleM81378523, hingga menjadi virus virtual (viral) dan menyebar luas ke berbagai platform media sosial.

Cerita yang dibagikan pada 24 Juni 2019 itu berisi ulasan kisah mistis sekelompok mahasiswa yang menjalankan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di sebuah desa di Jawa Timur, yang namanya dirahasiakan.

Disebutkan bahwa 2 mahasiswa dari kampus yang juga dirahasiakan namanya itu meninggal karena melanggar peraturan di desa tempat mereka KKN. Keduanya juga diceritakan melakukan praktik ilmu pelet dengan melibatkan sosok mistis yang ada di desa tersebut. Tak ayal cerita seram ini menarik perhatian publik, bahkan sampai sempat dibahas oleh Raditya Dika, di segmen paranormal experience di kanal YouTube miliknya.

Berbeda dengan cerita heboh yang masih misterius tersebut, tak banyak yang tahu, bahwa di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, desa penari ternyata benar-benar ada. Wujud dan lokasinya pun bisa dilihat mata.

Tepatnya di Dusun Ngrajek, Desa Sambirejo, Kecamatan Tanjunganom. Perkampungan kecil yang berada di dekat jalur lintas Surabaya-Solo ini, sejak dahulu menjadi 'sarang' para penari wanita berparas cantik.

Penduduk setempat biasa menyebutnya waranggono atau ledhek, penari seni tradisional tayub. Di dusun ini pula, terdapat sebuah padepokan dan punden keramat, yang setiap tahunnya, pada Jumat pahing menjelang Bulan Suro, dijadikan tempat meluluskan atau wisuda para waranggono.

Jika kebetulan bertandang ke kawasan itu, maka di pintu masuk desa akan disambut dengan penampakan gapura bertuliskan Bang Punden Ngrajek.

Gapura itu merupakan simbol dari keberdaaan sebuah punde berupa sumur bernama Mbah Ageng. Selain itu, gapura itu juga sebagai simbol keberadaan padepokan bernama Langen Tayub yang merupakan markasnya para penari tayub di Nganjuk.

Sehari-hari, warga di Desa Ngrajek beraktivitas seperti masyarakat biasanya, sehingga desa tersebut tidak terlihat sebagai pusat kesenian tayub di Kabupayen Nganjuk. Tidak ada aktifitas yang terlihat dari para waranggono. Para waranggono ini umumnya memiliki aktifitas lain. Ada yang bekerja, berdagang bahkan ada yang hanya sebagai ibu rumah tangga. Ya karena hanya pada bulan-bulan tertentu saja mereka bisa terlihat kegiatannya dalam seni tayub.

Namun, jika ada hari-hari besar atau ada warga yang memiliki hajat desa tersebut, sudah pasti akan ramai dengan penampilan kesenian tayub. Terlebih jika pada Jumat Pahing yang jatuh di bulan Zulhijjah atau bulan Besar dalam penanggalan Jawa. Desa tersebut akan sangat ramai oleh para pendatang dari desa lain bahkan juga dari masyarakat kota lain yang sengaja datang hanya untuk melihat kemahiran para waranggono di atas panggung.

Tarian Para Permaisuri

Menurut sejarah, tayub lahir sebagai tarian rakyat pada abad ke XI. Saat itu, Raja Kediri berkenan mengangkatnya ke dalam puri keraton dan membakukannya sebagai tari penyambutan tamu keraton. Tayub telah ditampilkan dalam acara penobatan Prabu Suryowiseso sebagai Raja Jenggala, Jawa Timur pada abad XII.

Keraton Jenggala kemudian menetapkan tayub sebagai tari adat kerajaan dan mewajibkan permaisuri raja menari ngigel (goyang) di pringgitan untuk menjemput kedatangan raja.

Meski dari awal, tayub adalah seni gambyong istana, pada perkembangannya harus keluar dan terdegradasi menjadi seni rakyat, yang makin hari dipandang dari sisi mesumnya, berkualitas rendah dan bertendensi prostitusi.

Masyarakat umumnya memandang kesenian tayub dari sisi negatifnya. Dan bukan salah mereka jika mereka memandang seni tayub seperti itu. Semua itu disebabkan ulah para tamu atau para penikmat seni tayub yang seringkali menikmati tayub dengan mabuk-mabukan serta tak jarang melecehkan para waranggono yang sedang menari di atas panggung.

Menurut Soegio Pranoto, sesepuh asal Nganjuk, tayub merupakan singkatan dari ditata ben guyub (diatur agar tercipta kerukunan). Sebuah filosofi yang ditanamkan pada tayub sebagai kesenian untuk pergaulan.

"Tayub adalah tari pergaulan tetapi dalam perwujudannya bisa bersifat romantis dan bisa pula erotis. Dalam pelaksanaannya para tamu mendapat persembahan sampur dari waranggono. Tamu itu kemudian menari berpasangan dengan ledhek, seirama dengan iringan gamelan, sesuai dengan gending yang dipesan," ujarnya.

Perjanjian Gaib Penari dengan Arwah

Menjadi seorang penari tayub tak semudah yang dibayangkan orang awam. Berbagai ritual harus dijalankan. Upacara yang mengharuskan para calon penari mengikat janji dengan alam gaib.

Terkadang himpitan ekonomi membuat para calon penari tak peduli, bahkan mungkin tak mengerti akan semua ucap sumpah yang mereka lantunkan lewat mantra dan gerak tari persembahan untuk para arwah.

Ritual yang harus dijalani para calon penari tayub adalah prosesi Gembayangan. Masyarakat setempat menyebutnya wisuda waranggono.

Tahap pertama prosesi ini adalah amek tirto atau pengambilan air suci di air terjun bernama Sedudo yang berada sekitar 30 kilometer arah selatan Ngrajek. Untuk menjalani tahap ini, para calon waranggono harus mampu menari minimal 10 gending tarian. Pada tahapan ini, mereka dipapah menemui juru kunci Sedudo untuk menyerahkan sesajen sekaligus meminta restu.

Setelah restu diyakini sudah didapat, mereka harus menari di dalam air terjun berketinggian 105 meter ini sebagai tanda penghormatan. Kemudian, barulah pengambilan air suci dilaksanakan melalui perantara Sedudo. Selanjutnya, air yang telah dimasukkan ke dalam wadah yang disebut klenteng tadi diserahkan kepada sesepuh seni tayub untuk dipercikkan ke kepala mereka. Sejak saat itu, para gadis tadi resmi menjadi waranggono.

Selama ini waranggono memiliki citra negatif yakni dikenal sebagai wanita penggoda. masyarakat menganggap bahwa tarian tayub sama saja dengan tarian erotis atau tarian mesum. Padahal  menjadi waranggono tak cuma bermodalkan wajah cantik. Kepiawaian menari dan menyanyi lagu-lagu Jawa menjadi modal penting untuk dapat menjadi waranggono profesional. Seorang waranggono dituntut dapat memuaskan para tamu dengan lagu-lagunya yang memikat serta tariannya yang memesona.

Selain itu, seorang waranggono harus selalu bersikap santun dan sabar. Mereka juga harus selalu waspada karena yang dihadapinya bukanlah orang-orang yang dia kenal baik. Mereka harus menghadapi lawan jenis yang sewaktu-waktu bisa bersikap jahil. Apalagi, sebelum acara dimulai, para tamu biasanya sudah meminum minuman keras.

(viva.co.id/berbagai sumber)
Share on Google Plus

About matakamera.net

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 komentar:

Comments System