Tantangan MK dalam Perkara PHPU

Selasa 17 April 2024

Oleh: Wahju Prijo Djatmiko

Doktor Ilmu Hukum Undip Semarang, Praktisi Hukum

MK mengemban tugas dan wewenang  berdasarkan Konstitusi dan Undang-undang (UU) No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK serta UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebagai salah satu pelaksana kekuasaan yudisial yang menegakkan hukum dan keadilan, MK terikat prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh lembaga negara lainnya (independence and impartiality of judiciary).

Pengawasan konsitusionalitas yang dilakukan MK merupakan pengawasan yang pengaruhnya tercermin dengan diaplikasikannya supremasi hukum pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta ditaatinya hierarki tata perundang-undangan yang ada. Konstitusilah yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara (ruled by law). Dalam mengemban kekuasaan konstitusionalnya, MK melakukan pengujian UU terhadap Konstitusi negara (the ultimate interpreter of the constitution), menjaga tegaknya HAM dan demokrasi, serta menjamin penerapan Konsitusi negara.

Dalam fungsi pengawasan konstitusionalitas inilah MK perlu memiliki kemampuan menerjemahkan Konstitusi secara moral (moral reading of the constitution) bukan  sekadar tekstual belaka dan diharapkan agar para pengadil berhukum progresif. Berhukum progresif artinya adanya kebebasan tidak terpaku pada hitam-putih peraturan (text reading), melainkan memahami ukuran moralitas  yang sedang menyelimuti masyarakat (moral reading). Cara berhukum ini mengindikasikan agar sang pengadil tidak hanya berpijak pada kecerdasan intelektual, melainkan spiritualnya juga.

Dengan kata lain, dalam dirinya perlu disuburkan keberpihakan, dedikasi, komitmen terhadap suara hati masyarakat  dan disertai keberanian  keluar dari kungkungan keadilan formalnya. Oleh karenanya, MK diharapkan menyelami betul ‘ruh’ dari kesimpulan tertulis yang diberikan oleh lima (5) amicus curiae yakni: Megawati Soekarnowati, Dewan Mahasiswa Justicia FH UGM, BEM FH UNDIP, BEM FH UNPAD dan BEM FH UNAIR serta menjadikan kelima kesimpulan tertulis tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan berkas perkara PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum).

Demokrasi akan berjalan dengan baik apabila konsep rule of law berfungsi dengan benar. Dalam rangka mewujudkan negara hukum demokratis, MK berperan tunggal dan sentral sebagai penegak Konstitusi. Di tangan kekuasaannya, demokrasi konstistusional bergerak tetap pada kodratnya yakni adanya kedaulatan menyeluruh di tangan rakyat. Sengketa PHPU merupakan tanggung jawab MK untuk memutus secara adil, jujur, dan bertanggung jawab.

Penegakan Konstitusi merupakan manifestasi penerapan asas supremasi hukum dalam negara demokrasi. Kegagalan MK mempertahankan eksistensi Konstitusi merupakan mimpi buruk yang tidak boleh terjadi. Apapun dalihnya, Konsitusi merupakan tolok ukur yang harus diperjuangkan. Konstitusi tidak akan pernah memberikan perlindungan dan manfaat bagi masyarakat kalau tidak ditegakkan secara adil dan benar. 

Sebagai penegak demokrasi, MK harus mampu tidak hanya mengamankan aplikasi dari  sistem demokrasi namun juga bagaimana MK bisa sekaligus mewujudkan legal justice dan social justice pada kehidupan berdemokrasi. Tentunya hal ini bukan merupakan hal yang mudah. Sikap non-partisan, bebas, mandiri, dan tegak dari MK merupakan indikator-indikator mampunya MK menjadi ‘wasit’ dan sekaligus penegak demokrasi. Masih maraknya demokrasi semu dan cacat dalam berpolitik bisa menjadi salah satu bukti belum tegaknya demokrasi.

Setidaknya terdapat tiga ciri yang bisa teramati bila sang pengadil berhukum progresif. Pertama, ia tidak terbelenggu bunyi teks dan aturan. Mendasarkan pada teks dan bukan konteks memiliki kecenderungan kuat untuk berhukum kaku. Akibat sifat hukum yang tidak lentur (lex dura sed tamen scripta) inilah, banyak hal tidak terwadahi dalam ius constitutum, seperti suasana moral, harapan, semangat yang sedang menyelimuti masyarakat. Dengan logika lain, teks-teks hukum tidak dapat sepenuhnya dipercaya sebagai representasi kehidupan hukum yang otentik, benar dan relevan pada saat tertentu. Kedua, penafsiran peristiwa hukum dilakukan secara mendalam hingga menyentuh  konteks sosial dan filosofisnya agar makna sosial-ideologis yang paling mendasar dapat ditemukan. Ketiga, adanya keterlibatan emosional  sang pengadil yakni terbangunnya  empati dalam sanubarinya terhadap kaum marginal,  lemah dan teraniaya.  Vonis yang tidak membawa implikasi nilai moral merupakan produk hukum yang cacat ( leges sine moribus vanae).

(*)
Share on Google Plus

About matakamera.net

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment

Comments System