Sementara, 20 kabupaten/kota lain di Jawa Timur yang tidak menyelenggaran pemilihan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota, otomatis hanya akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah Gubernur dan Wakil Gubernur. “Kita bisa membayangkan jika dua daerah yang berbatasan, yang satu hanya menyelenggaran pemilihan Gubernur saja, dan yang satu menyelenggarakan pemilihan Bupati/Wali Kota plus pemilihan gubernur dan honornya sama, rasanya tidak etis dan tidak rasional. Bahkan sangat mungkin timbul gejolak dan akan menganggu proses pemilihan kepala daerah tersebut,” papar Komisioner KPU Jawa Timur Dewita Hayu Shinta, dalam pemaparan Divisi Umum, Keuangan dan Logistik, pada Rapat Koordinasi Pemilihan 2018 di KPU Jawa Timur, 26 September 2016.
Karena itu, selayaknya honor yang diterima panitia ad hoc berbanding lurus dengan beban kerja dan tanggung jawabnya. Menurut Sisin, sapaan Dewita Hayu Shinta, jika panitia ad hoc menyelenggarakan pemilihan Gubernur dan Bupati/Wali Kota sekaligus, maka mereka mempunyai beban kerja yang lebih berat sebab melakukan dua kali pekerjaan. Khususnya dalam proses pemungutan suara dan penghitungan suara, serta pengamanan logistik atau perlengkapan pemilihan kepala daerah tersebut.
Karena itulah, Sisin menyebut honor panitia pemilihan yang dobel kerja harus lebih tinggi dari daerah yang hanya menyelenggarakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Rasionalisasi honor panitia ad hoc ini mengacu pada honor yang ditetapkan KPU Jawa Timur untuk Pemilihan Gubernur, yang berarti bahwa honor panitia ad hoc yang menyelenggarakan pemilihan Gubernur sekaligus Pemilihan Bupati/Wali Kota harus lebih tinggi, mengacu pada Surat Menteri Keuangan Nomor 118 tahun 2016 tentang Besaran Honorarium.
Rasionalisasi anggaran honorarium itu diharapkan mampu menciptakan situasi yang kondusif pada waktu pelaksanaan pemilihan serentak 2018 nanti. (ab/kpudngk)
(Panji Lanang Satriadin)
0 komentar:
Post a Comment