Tiga perwakilan komunitas advokat yang hadir antara lain Johan Imanuel, S.H., Prayogo Laksono, S.H., M.H., dan Yogi Pajar Suprayogi, A.Md., S.E., S.H.
Di depan jajaran Komisi III DPR RI, Prayogo Laksono, advokat asal Kabupaten Nganjuk mengusulkan sejumlah materi yang patut dimuat dalam RUU KUHAP antara lain putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Prayogo menyebutkan misalnya, putusan MK No.103/PUU-XIV/2016 yang menyatakan Pasal 197 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘surat putusan pemidanaan memuat’ tidak dimaknai ‘surat putusan pemidanaan di pengadilan tingkat pertama memuat’. Putusan ini telah dimasukan dalam Pasal 235 ayat (1) draf RUU KUHAP.
Kemudian, lanjut Prayogo, putusan MK No.33/PUU-XIV/2016, menyatakan Pasal 263 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo.
Putusan MK No.33/PUU-XIV/2016 ini juga diatur Pasal 302-309 RUU KUHAP. Begitu pula putusan MK No.130/PUU-XIII/2015 yang menyatakan Pasal 109 ayat 1 KUHAP inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya
penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu
paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan’.
"Penyidik wajib memberitahukan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum dalam waktu 7 hari sejak dikeluarkan surat perintah penyidikan. Ini sudah ditindaklanjuti Pasal 24 RUU KUHAP,” urai Prayogo Laksono, Rabu (18/6/2025).
Putusan MK No.102/PUU-XIII/2015 yang menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘suatu perkara sudah mulai diperiksa’ tidak dimaknai ‘permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan’. Rumusan amar putusan MK ini menurut Prayogo belum diatur RUU KUHAP.
Berikutnya putusan MK No.21/PUU-XII/2014 yang memaknai 2 hal. Pertama, ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP. Kedua, Pasal 77 huruf a dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Prayoga mencatat putusan ini telah diadopsi RUU KUHAP seperti dalam Pasal 1 angka 22, 25, dan 26, Pasal 85 ayat (1), Pasal 88, dan Pasal 93 ayat (5).
Salah satunya putusan MK yang memaknai penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan.
Serta putusan MK No.34/PUU-XI/2013, menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan ini telah ditindaklanjuti dalam Pasal 302-309 RUU KUHAP. Prayogo mengapresiasi RUU KUHAP yang memuat berbagai putusan MK itu.
Prayogo menyebutkan misalnya, putusan MK No.103/PUU-XIV/2016 yang menyatakan Pasal 197 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘surat putusan pemidanaan memuat’ tidak dimaknai ‘surat putusan pemidanaan di pengadilan tingkat pertama memuat’. Putusan ini telah dimasukan dalam Pasal 235 ayat (1) draf RUU KUHAP.
Kemudian, lanjut Prayogo, putusan MK No.33/PUU-XIV/2016, menyatakan Pasal 263 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo.
Putusan MK No.33/PUU-XIV/2016 ini juga diatur Pasal 302-309 RUU KUHAP. Begitu pula putusan MK No.130/PUU-XIII/2015 yang menyatakan Pasal 109 ayat 1 KUHAP inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya
penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu
paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan’.
"Penyidik wajib memberitahukan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum dalam waktu 7 hari sejak dikeluarkan surat perintah penyidikan. Ini sudah ditindaklanjuti Pasal 24 RUU KUHAP,” urai Prayogo Laksono, Rabu (18/6/2025).
Putusan MK No.102/PUU-XIII/2015 yang menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘suatu perkara sudah mulai diperiksa’ tidak dimaknai ‘permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan’. Rumusan amar putusan MK ini menurut Prayogo belum diatur RUU KUHAP.
Berikutnya putusan MK No.21/PUU-XII/2014 yang memaknai 2 hal. Pertama, ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP. Kedua, Pasal 77 huruf a dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Prayoga mencatat putusan ini telah diadopsi RUU KUHAP seperti dalam Pasal 1 angka 22, 25, dan 26, Pasal 85 ayat (1), Pasal 88, dan Pasal 93 ayat (5).
Salah satunya putusan MK yang memaknai penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan.
Serta putusan MK No.34/PUU-XI/2013, menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan ini telah ditindaklanjuti dalam Pasal 302-309 RUU KUHAP. Prayogo mengapresiasi RUU KUHAP yang memuat berbagai putusan MK itu.
Desak Hapus Pasal yang Bungkam Profesi Advokat
Komunitas Advokat juga mengkritik terkait pasal kontroversial di RUU KUHAP. Yakni, Pasal 142 ayat (3) huruf b yang melarang advokat memberikan pendapat di luar pengadilan mengenai permasalahan kliennya.
"Ketentuan ini sangat bertentangan dengan prinsip profesi advokat sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri. Ini upaya membungkam suara advokat, sekaligus bertentangan dengan UU Advokat dan prinsip hak asasi manusia,” tegas Johan Imanuel dalam forum tersebut.
Menurut komunitas ini, pasal tersebut tidak hanya mengancam kebebasan berpendapat para advokat, tetapi juga melecehkan kehormatan profesi mereka sebagai bagian dari sistem peradilan yang seharusnya independen.
“Pasal ini merendahkan kehormatan dan tanggung jawab profesi advokat sebagai officium nobile. Advokat bukan hanya hadir di ruang sidang, tapi juga sebagai pengawas publik terhadap jalannya proses hukum,” tambah Prayogo Laksono.
Komisi III DPR RI menyatakan menerima masukan tersebut sebagai bagian dari proses penyempurnaan RUU KUHAP, namun belum memberikan keputusan apakah pasal-pasal kontroversial seperti Pasal 142 ayat (3) huruf b akan direvisi.
Rif/Pas/2025
"Ketentuan ini sangat bertentangan dengan prinsip profesi advokat sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri. Ini upaya membungkam suara advokat, sekaligus bertentangan dengan UU Advokat dan prinsip hak asasi manusia,” tegas Johan Imanuel dalam forum tersebut.
Menurut komunitas ini, pasal tersebut tidak hanya mengancam kebebasan berpendapat para advokat, tetapi juga melecehkan kehormatan profesi mereka sebagai bagian dari sistem peradilan yang seharusnya independen.
“Pasal ini merendahkan kehormatan dan tanggung jawab profesi advokat sebagai officium nobile. Advokat bukan hanya hadir di ruang sidang, tapi juga sebagai pengawas publik terhadap jalannya proses hukum,” tambah Prayogo Laksono.
Komisi III DPR RI menyatakan menerima masukan tersebut sebagai bagian dari proses penyempurnaan RUU KUHAP, namun belum memberikan keputusan apakah pasal-pasal kontroversial seperti Pasal 142 ayat (3) huruf b akan direvisi.
Rif/Pas/2025
0 komentar:
Posting Komentar