Filantropi (Kesehatan) Mental: Menyelami Luka Jiwa, Merajut Harapan dengan Zakat

Oleh :
M. Roissudin S.Pd, M.Pd.
Mahasiswa Doktoral Studi Islam 
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ketika dunia berputar dalam pusaran krisis multidimensi—dari jurang ketimpangan sosial yang melebar, gelombang kecemasan kolektif yang menghantam, hingga erosi kepercayaan terhadap otoritas—perlahan namun pasti, isu kesehatan mental bergerak dari bisikan pribadi di ruang-ruang sunyi menuju sorotan terang di ranah publik.

Fenomena tagar #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu yang sempat viral di jagat maya bukan sekadar riak digital tanpa makna. Ia adalah jeritan senyap, ekspresi kegelisahan sosial yang nyata, alarm darurat yang membunyikan bahwa di balik deretan data ekonomi, statistik kemiskinan, dan kerumunan angka inflasi, ada jutaan manusia yang sedang bertarung sengit di dalam dirinya sendiri.

Dalam kondisi demikian, kehadiran pendekatan spiritual dan sosial yang berakar pada nilai-nilai luhur filantropi Islam menjadi krusial. Ia bukan hanya sekadar menawarkan bantuan fisik atau materiil yang kasat mata, melainkan juga menyentuh sisi terdalam dari eksistensi manusia: martabat, makna hidup, dan secercah harapan di tengah kegelapan.

Filantropi Islam bukanlah konsep baru yang tiba-tiba muncul. Sejak zaman Rasulullah SAW dan para sahabat, hingga tokoh pembaharu di Nusantara seperti Kyai Ahmad Dahlan, nilai memberi, menyantuni, dan merawat yang lemah telah menjadi nadi utama kehidupan umat Islam.

Umar bin Khattab, sang amirul mukminin yang dikenal tegas, juga dikenang sebagai sosok yang tak segan menggendong sendiri karung gandum demi memastikan seorang janda dan anaknya tidak kelaparan.

Itu bukan sekadar menunaikan zakat, melainkan manifestasi empati yang bergerak, sebuah tindakan kasih sayang yang melampaui kewajiban.

Di era modern, semangat luhur itu diwarisi oleh tokoh-tokoh Islam Indonesia. Kyai Ahmad Dahlan, misalnya, tidak hanya mendirikan masjid dan sekolah, tetapi juga panti asuhan, rumah wreda, dan berbagai lembaga sosial yang merawat anak-anak terlantar serta kaum difabel.

Inilah wajah Islam rahmatan lil ‘alamin yang benar-benar hidup, bukan sekadar jargon kosong tanpa isi.

Namun, tantangan yang kita hadapi kini berbeda. Di tengah masyarakat yang semakin terhubung secara digital, ironisnya kita justru merasa semakin terasing secara emosional.

Kita menyaksikan krisis mental meluas dalam diam, merenggut banyak korban tanpa disadari. Tak sedikit anak muda yang merasa gagal bahkan sebelum mencoba, putus asa di tengah gemerlap prestasi, atau bahkan menolak realitas pahit lewat cara-cara ekstrem seperti kabur, menghilang, atau—dalam kasus terburuk—bunuh diri.

Bahkan isu sensitif seperti Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) yang semakin menguat di permukaan bukan hanya soal identitas seksual semata, tetapi seringkali terkait erat dengan luka batin yang mendalam, pengalaman traumatik yang belum terselesaikan, atau krisis eksistensial yang membelenggu jiwa.

Sayangnya, wacana kesehatan mental di Indonesia masih kerap dianggap sebagai kemewahan bagi kalangan tertentu, atau bahkan tabu untuk dibicarakan secara terbuka. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah secara tegas menyatakan bahwa gangguan mental seperti depresi dan kecemasan merupakan salah satu penyebab utama disabilitas di seluruh dunia.

Di Tanah Air, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat bahwa lebih dari 19 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan emosional, dan lebih dari 12 juta jiwa menderita depresi.

Yang lebih menyedihkan, angka ini melonjak drastis pascapandemi COVID-19. Perubahan gaya hidup yang mendadak, ketidakpastian ekonomi yang mencekik, kehilangan orang-orang tercinta, hingga tekanan sosial yang tak henti-hentinya membuat masyarakat mengalami kelelahan psikologis akut.

Maka, tidaklah berlebihan jika kita mengatakan bahwa kesehatan mental hari ini bukan sekadar isu medis semata, melainkan masalah kemanusiaan fundamental yang harus direspons secara holistik dan komprehensif.

Di sinilah peran baru lembaga filantropi Islam diuji. BAZNAS, Lembaga Amil Zakat Muhammadiyah (Lazismu), Lembaga Zakat NU (NU Care-LAZISNU), dan berbagai LAZ lainnya sudah saatnya meluaskan cakrawala distribusi ZIS (Zakat, Infak, Sedekah) mereka.

Tak hanya terpaku pada bantuan sembako, biaya sekolah, atau layanan kesehatan fisik, tetapi juga merambah ke program-program kesehatan mental: konseling profesional, rehabilitasi psikososial, penyediaan ruang aman bagi korban kekerasan, hingga pembinaan spiritual yang memulihkan jiwa yang terluka.

Salah satu contoh konkret dari upaya mulia ini adalah "Rumah Cahaya"—sebuah gerakan kesehatan mental berbasis spiritualitas dan komunitas yang digagas oleh Habib Ja’far Al Kaff.

Tokoh muda ini tidak hanya dikenal karena kepiawaiannya berdakwah dengan gaya humor segar yang merangkul, tetapi juga karena keberaniannya masuk ke ranah-ranah yang selama ini dianggap sensitif dan tabu: mendampingi komunitas LGBT, merangkul korban kekerasan seksual, hingga membimbing remaja galau yang kehilangan arah.

Rumah Cahaya menjadi semacam oase di tengah padang gersang keterasingan sosial. Di tempat ini, orang-orang yang merasa tersesat tidak dihakimi, melainkan diajak berdialog dari hati ke hati. Mereka yang merasa "rusak" tidak dipermalukan, melainkan diajak sembuh bersama dalam suasana penuh penerimaan.

Inilah wajah filantropi mental yang sebenarnya: hadir tanpa menggurui, mengulurkan tangan tanpa pamrih, dan menuntun dengan cahaya harapan, bukan dengan paksaan atau penghakiman. Namun, Habib Ja’far tidak bisa berjalan sendirian.

Peran-peran semacam ini harus diperkuat dan direplikasi oleh institusi yang memiliki struktur dan sumber daya yang jauh lebih besar dan terorganisir.

BAZNAS sebagai lembaga resmi pengelola zakat nasional telah mulai merespons isu krusial ini. Pada tahun 2022, BAZNAS RI merilis data bahwa setidaknya 2,1 miliar rupiah dari dana zakat telah dialokasikan untuk program rehabilitasi sosial dan dukungan psikososial bagi mustahik yang terdampak gangguan mental, korban kekerasan rumah tangga, dan penyintas bencana.

Program seperti Klinik Konseling Gratis, pendampingan spiritual untuk ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa), hingga pelatihan keterampilan bagi pasien pulih telah dijalankan di sejumlah daerah seperti Yogyakarta, Bandung, dan Makassar.

Sementara itu, Lazismu juga membentuk Muhammadiyah Disaster Mental Health Support Team (MDMHS) sebagai respons cepat terhadap trauma psikologis pascabencana.

Di sisi lain, NU Care-LAZISNU mendorong pengembangan pondok pesantren rehabilitasi berbasis terapi Qur’ani dan pendekatan kejiwaan holistik.

Upaya-upaya ini patut kita apresiasi setinggi-tingginya. Namun, tentu saja belum cukup. Meluasnya gangguan mental di tengah masyarakat menuntut keterlibatan yang lebih strategis dan sistematis dari seluruh lembaga filantropi Islam.

Berbagai penelitian psikologi positif secara konsisten menunjukkan bahwa memberi justru membuat pemberi merasa lebih bahagia.

Sebuah studi oleh Dunn, Aknin, dan Norton (2008) menemukan bahwa individu yang membelanjakan uang untuk orang lain merasakan tingkat kebahagiaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan mereka yang membelanjakannya untuk diri sendiri.

Dalam studi lanjutan, para peneliti menemukan bahwa relawan yang aktif terlibat dalam kegiatan sosial memiliki kesehatan mental yang lebih baik, tingkat stres yang lebih rendah, dan kepuasan hidup yang lebih tinggi.

Dalam konteks ini, zakat, infak, dan sedekah bukan hanya sekadar sarana untuk menolong orang lain, tetapi juga berfungsi sebagai terapi jiwa yang ampuh bagi pemberinya.

Di tengah dunia yang sibuk, penuh tuntutan, dan sering membuat kita merasa tidak cukup, memberi menjadi cara yang efektif untuk kembali merasa berarti dan menemukan kembali esensi kemanusiaan kita.

Namun, tentu saja, distribusi ZIS yang dilakukan lembaga-lembaga filantropi tidak boleh berhenti di ranah karitas semata. Sudah saatnya pendekatan yang digunakan lebih transformatif, menyentuh akar masalah, dan memberdayakan penerima secara berkelanjutan.

Untuk kasus kesehatan mental, ini bisa berarti membangun pusat-pusat terapi komunitas yang terintegrasi di pesantren, mencetak konselor keagamaan dari kalangan muda yang peka terhadap isu mental, menyediakan hotline psikologis berbasis zakat yang mudah diakses, atau mendukung riset-riset psikososial dalam perspektif Islam untuk mengembangkan solusi yang relevan.

Kesehatan mental adalah kebutuhan dasar manusia di abad ini, dan mengabaikannya sama dengan mengabaikan bagian penting dari kemanusiaan kita secara keseluruhan.

Lembaga zakat, dengan kekuatan dana yang besar, jaringan yang luas, dan legitimasi spiritualnya, berada pada posisi strategis untuk menjadi garda depan perubahan ini, menjadi pelopor dalam gerakan penyembuhan jiwa.

Apa yang telah dilakukan oleh sebagian kelompok masyarakat, organisasi seperti Muhammadiyah dan NU, hingga BAZNAS, adalah bagian dari mozaik besar peradaban Islam yang berupaya menyembuhkan kebutuhan mendesak akan kesehatan mental.

Filantropi Islam bukan semata-mata tentang memberi, tetapi tentang memulihkan. Ia bukan hanya alat sosial untuk pemerataan ekonomi, tetapi juga obat spiritual yang menyentuh kedalaman jiwa.

Maka, ketika krisis mental menjadi tantangan global yang tak terhindarkan, jawaban kita haruslah lokal dan membumi: komunitas yang peduli, lembaga yang responsif, dan ajaran agama yang membumi, yang mampu menjadi solusi nyata. Inilah waktunya menjadikan zakat bukan hanya instrumen ekonomi, tetapi juga instrumen penyembuh jiwa, yang mampu menyeka air mata dan merajut kembali harapan.

Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda,

“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” Namun dalam filantropi mental, sering kali kita menemukan bahwa tangan yang memberi dan tangan yang menerima sama-sama terluka, sama-sama membutuhkan penyembuhan.

Maka izinkanlah zakat, infak, dan sedekah bukan hanya mengisi perut yang lapar, tetapi juga menyeka air mata yang jatuh, dan mengobati hati yang lara.

Rif/Pas/2025
Share on Google Plus

About matakamera.net

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar

Comments System