![]() |
DR Wahju Prijo Djatmiko beserta tim memberikan keterangan pers usai persidangan di PN Surabaya, Selasa (15/7/2025) |
Tim Penasihat Hukum Ade Yolando secara resmi mengajukan eksepsi, menolak keras dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menggunakan Pasal 378 dan 372 KUHP.
Puncaknya, DR Wahju Prijo Djatmiko, selaku Ketua Tim Penasihat Hukum terdakwa, dengan tegas menyatakan bahwa perkara ini seharusnya disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
"Perkara yang menimpa klien kami bukanlah ranah tindak pidana umum. Melainkan adanya dugaan kuat tindak pidana korupsi yang seharusnya diperiksa oleh Pengadilan Tipikor," ujar Wahju Prijo Djatmiko pada Selasa (15/07/2025).
Dalam dokumen eksepsi yang komprehensif, Tim Penasihat Hukum yang dipimpin oleh Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc., bersama rekan-rekannya, secara gamblang memaparkan argumen mereka.
Mereka menekankan bahwa PT Angkasa Pura Kargo (sekarang PT Integrasi Aviasi Solusi), pihak yang mengalami kerugian, adalah anak perusahaan dari BUMN PT Angkasa Pura II. Ini berarti, kekayaan yang dikelola oleh PT APK mengandung unsur kekayaan negara.
Kerugian yang dipersoalkan dalam dakwaan mencapai angka fantastis: Rp 4.848.000.000. Angka ini, menurut tim pengacara, berasal dari tiga proyek pengadaan barang, yaitu pengiriman 5.000 batang tiang listrik ke Kepulauan Raas, 1.800 unit solar lamp ke wilayah Jawa Tengah, serta satu unit rig dan jasa pengiriman dari Mamahak, Kalimantan Timur, ke Marunda, Jakarta Utara.
Wahju Prijo Djatmiko dan timnya berargumen bahwa perbuatan yang didakwakan tersebut telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
"Perkara yang menimpa klien kami bukanlah ranah tindak pidana umum. Melainkan adanya dugaan kuat tindak pidana korupsi yang seharusnya diperiksa oleh Pengadilan Tipikor," ujar Wahju Prijo Djatmiko pada Selasa (15/07/2025).
Dalam dokumen eksepsi yang komprehensif, Tim Penasihat Hukum yang dipimpin oleh Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc., bersama rekan-rekannya, secara gamblang memaparkan argumen mereka.
Mereka menekankan bahwa PT Angkasa Pura Kargo (sekarang PT Integrasi Aviasi Solusi), pihak yang mengalami kerugian, adalah anak perusahaan dari BUMN PT Angkasa Pura II. Ini berarti, kekayaan yang dikelola oleh PT APK mengandung unsur kekayaan negara.
Kerugian yang dipersoalkan dalam dakwaan mencapai angka fantastis: Rp 4.848.000.000. Angka ini, menurut tim pengacara, berasal dari tiga proyek pengadaan barang, yaitu pengiriman 5.000 batang tiang listrik ke Kepulauan Raas, 1.800 unit solar lamp ke wilayah Jawa Tengah, serta satu unit rig dan jasa pengiriman dari Mamahak, Kalimantan Timur, ke Marunda, Jakarta Utara.
Wahju Prijo Djatmiko dan timnya berargumen bahwa perbuatan yang didakwakan tersebut telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Mereka menegaskan bahwa pada periode November 2020 hingga Mei 2021, saat dugaan kerugian terjadi, PT APK masih berstatus anak perusahaan BUMN, sehingga dana yang dikelola adalah kekayaan negara.
Bahkan, meskipun status PT APK berubah menjadi “cucu” BUMN setelah kerugian terjadi, Wahju Prijo Djatmiko menegaskan hal itu tidak mengubah sifat kerugian yang ditimbulkan sebagai kerugian negara.
Tim Penasihat Hukum juga menyoroti ketidaktepatan penggunaan KUHP oleh JPU, karena hukum pidana umum ini tidak memiliki instrumen memadai untuk memulihkan kerugian keuangan negara.
Oleh karena itu, Wahju Prijo Djatmiko menegaskan pentingnya penerapan prinsip lex specialis derogat legi generali, di mana UU Tipikor yang bersifat khusus harus menjadi dasar utama kasus ini, sebab hanya UU Tipikor yang memuat mekanisme pengembalian kerugian negara.
Di akhir persidangan yang penuh tensi, Wahju Prijo Djatmiko membuat pernyataan mengejutkan. Ia mengumumkan bahwa terdakwa Ade Yolando Sudirman bersedia bekerja sama secara penuh dan siap menjadi whistleblower demi mengungkap kasus ini secara transparan dan menyeluruh.
Langkah ini diharapkan dapat membuka tabir dugaan korupsi yang lebih luas dalam proyek-proyek tersebut.
Bahkan, meskipun status PT APK berubah menjadi “cucu” BUMN setelah kerugian terjadi, Wahju Prijo Djatmiko menegaskan hal itu tidak mengubah sifat kerugian yang ditimbulkan sebagai kerugian negara.
Tim Penasihat Hukum juga menyoroti ketidaktepatan penggunaan KUHP oleh JPU, karena hukum pidana umum ini tidak memiliki instrumen memadai untuk memulihkan kerugian keuangan negara.
Oleh karena itu, Wahju Prijo Djatmiko menegaskan pentingnya penerapan prinsip lex specialis derogat legi generali, di mana UU Tipikor yang bersifat khusus harus menjadi dasar utama kasus ini, sebab hanya UU Tipikor yang memuat mekanisme pengembalian kerugian negara.
Di akhir persidangan yang penuh tensi, Wahju Prijo Djatmiko membuat pernyataan mengejutkan. Ia mengumumkan bahwa terdakwa Ade Yolando Sudirman bersedia bekerja sama secara penuh dan siap menjadi whistleblower demi mengungkap kasus ini secara transparan dan menyeluruh.
Langkah ini diharapkan dapat membuka tabir dugaan korupsi yang lebih luas dalam proyek-proyek tersebut.
Akankah Pengadilan Negeri Surabaya menerima eksepsi ini dan melimpahkan kasus Ade Yolando ke Pengadilan Tipikor? Publik menantikan kelanjutan persidangan yang akan datang.
Rif/Pas/2025
Rif/Pas/2025
0 komentar:
Posting Komentar