Hukum Pidana Tidak Mengenal Hak Imunitas

Rabu 22 Oktober 2025

Oleh: Dr. WP Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. G.Dipl.IfSc.

drwahjuprijodjatmiko.com

Semua warga negara Indonesia diposisikan sama di hadapan hukum tanpa membedakan suku, agama, ras, difabel maupun status sosial, termasuk profesinya.

Inilah amanat Konstitusi Negara yakni Pasal 27 ayat (1), yang secara keilmuan hukum dikenal asas equality before the law. Asas ini merupakan ciri fundamental dari negara hukum (rechtstaat) sehingga idak ada keistimewaan yang diberikan oleh hukum pada subyek hukum (gelijkheid van ieder voor de wet).

Adanya anggapan bahwa adanya pasal-pasal impunitas pada undang- undang merupakan hak imunitas adalah sesat nalar. Keberadaan pasal-pasal tersebut
merupakan kebijakan hukum pidana biasa.

Jika dan hanya jika tidak ada (1) perbuatan
melawan hukum dan (2) adanya niat/iktikad baik dalam menjalankan tupoksi-nya, maka pasal-pasal tersebut operatif.

Sudah banyak nama-nama besar baik itu dari kalangan advokat mupun pejabat publik dan wakil rakyat yang kesandung persoalan hukum pidana walaupun ada pasal-pasal impunitas yang menaungi profesinya.

Pengaturan mengenai hak imunitas dapat ditemukan dalam berbagai macam
produk perundang-undangan di Indonesia. Misalnya, dalam Undang-Undang (UU)
Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (UU COVID-19), yakni Pasal 27; UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) yakni Pasal 224; UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yakni Pasal 16 dan UU No 37 'Tahun 2008 tentang Ombudsman yakni Pasal 10.

Potensi terjadinya abuse in law misalnya merupakan fenomena umum yang sering muncul pada para pemeroleh pasal-pasal impunitas. Bila tidak hati-hati dalam
memaknai pasal-pasal tersebut maka sering sekali kecerobohan itu akan mengarah ke perilaku spes impunitatis continuum affectum tribuit delinquend i yang berarti imunitas yang dimiliki seseorang membawa kecenderungan kepada orang tersebut untuk melakukan kejahatan dan impunitatis semper ad deteriora invitat yang berarti imunitas mengundang pelaku untuk melakukan kejahatan yang lebih besar.

Berdasarkan kedua postulat itu, imunitas dalam hukum pidana pada dasarnya tidak dikenal. Imunitas dalam hukum pidana hanya diberikan kepada orang tertentu atas tindak pidana yang dilakukan di luar teritorial negaranya. Seorang kepala negara misalnya, memiliki munitas di luar wilayah teritorial negaranya. Ini berdasarkan postulat par in parem non hebet imperium bahwa sorang kepala negara tidak boleh dihukum dengan menggunakan hukum negara lain. Sayangnya postulat inipun sudah dikesampingkan oleh Pasal 27 Statuta Roma. Beberapa kejahatan dalam Statuta ini sudah diadopsi oleh Pemerintah Indonesia dengan lahirnya UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hal ini menegaskan bahwa tanggung jawab individu dalam hukum pidana tak kenal relevansi jabatan resmi.

Mengenai imunitas diplomatik yang dikuatkan berdasarkan Konvensi Vienna 1961 dan merujuk pada postulat legatus regis rice fungitur a quo destinatur, et honorandus est sicut ille cujus icem gerit dimana seorang duta besar mewakili raja yang mengutus dan mewakilinya oleh karenanya ia harus dihormati oleh negara asing menjadi lemah kekuatannya karena Pasal 27 Statuta Roma tersebut.

Dalam profesi advokat misalnya, walaupun hak imunitas advokat dijamin dan
dilindungi dalam UU Advokat, namun hal tersebut tidak serta-merta membuat advokat menjadi profesi yang kebal terhadap hukum karena hak imunitas yang melekat tersebut digantungkan kepada apakah profesinya itu dilakukan berdasarkan iktikad baik atau tidak.

Adapun pengertian iktikad baik yang diberikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat mensyaratkan bahwa dalam membela kepentingan kliennya advokat harus tetap berdasarkan pada aturan-aturan hukum yang berlaku (ius constitutum). Perlu dicermati bahwa dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 7/PUU-XVI/2018 yang menjadi kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan tersebut bukan terletak pada "kepentingan pembelaan klien", melainkan pada "iktikad baik". Dengan demikian, hak imunitas tersebut dengan sendirinya akan gugur tatkala unsur iktikad baik yang dimaksud tidak terpenuhi. (*)

Share on Google Plus

About matakamera.net

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar

Comments System